Friday, July 07, 2006

19 Juni 2006

telepon genggamku berbunyi, di layarnya terbaca: Edo. Dengan tawa ceria kuterima telepon itu, kupikir abangku ini ingin menanyakan kabarku atau menanyakan kapan aku pulang ke Jakarta. Tapi ternyata tidak, bukan suara ceria yang kudengar. Suara muram yang mengabarkan ayah kami masuk ICU. Sesaat aku merasa gak mampu untuk berbuat apapun, otakku buntu dan aku bingung harus melakukan apa. Secepatnya aku pulang ke Jakarta dan di rumah abangku sudah menunggu. Ia langsung mengajakku ke bandara begitu kakiku keluar dari taksi. Tapi aku ingin masuk dulu ke rumah, mau menanyakan kabar ayah ke kakakku. Di rumah kudapati mata kakakku sudah sangat sembab, dan dengan terbata-bata ia berkata kalau Tuhan sudah mengambil ayahku. Tahukah bagaimana rasanya mendengar kabar itu? terasa jantung ini diambil dari tempatnya, terasa sesak, otak gak mampu berpikir, dan rasanya aku masih mencoba memanipulasi otakku kalau ini semua hanya dalam pikiranku. Perjalanan terpanjang kujalani. Berkali-kali sudah aku menggunakan pesawat untuk pulang ke rumah di medan atau kembali lagi ke jakarta. Tapi kali ini, penerbangan 2 jam 15 menit itu terasa berhari-hari. Sangat lama sampai aku tidak percaya kalau detik di jamku ini bergerak.
Taksi kami tiba di depan gerbang rumah, rumah tempatku bernaung 6 tahun sebelum aku mendatangi kota bandung. Rumah itu kali ini terasa berbeda. Tenda dipasang di halaman, dan orang-orang langsung menyambut kami. Dengan perlahan kakiku memasuki ruang tamu. Abang dan kakakku sudah lebih duluan masuk. Tapi saat sudut mataku menangkap ujung kaki ayahku di atas tempat tidur, aku menjadi kaku. Aku gak mampu bergerak, dada ini terasa semakin sesak. Aku sempat mundur selangkah sebelum tanteku memelukku dan memapahku ke ruang tengah, ruang keluarga kami. Mama yang pertama mendatangiku, memelukku dan berkata: "gakpapa ya,dek. Gak ada papa yang akan nemenin wisudamu. Jangan sedih yah". Mampukah aku untuk menahan sedih bila ibuku berkata seperti itu? Perlahan sambil memegang tangan ayahku yang sudah sangat keras, kuucapkan dengan lirih "kenapa,pa? kenapa ga mau menunggu? tinggal sebulan lagi wisudaku, kenapa papa gak mau nunggu?"
Aku ga mampu meraung, aku ga mampu berteriak, aku bahkan tidak mampu terisak. Saat hati mulai terasa lelah, aku berdiri memandangi ruang keluarga kami. Di atas buffet tape tergantung foto kanvas 32R yang kucetak setahun lalu. Disana ayahku memakai jas abu-abu, mukanya terlihat semakin tua. Ruang keluarga ini sangat lenggang. Sebelumnya ruangan ini terisi dengan sofa-sofa empuk untuk menonton teve. Sekarang sofa itu disingkirkan entah kemana, hanya sebuah perabotan yang berada di tengah ruangan yaitu sebuah dipan tempat tidur tanpa kasur yang telah ditutupi seprai putih cantik. Di dipan itu ayahku tidur dengan jas abu-abu. Di dekat kepalanya diletakkan sebuah bingkai foto, foto ayahku memakai jas. Tahukah itu foto apa? itu adalah foto ayahku yang kupersembahkan untuk hadiah pernikahan orangtuaku yang ke 25. Dulu aku hanya menyimpan sebuah foto kecil dengan ayah ibuku berpose di depan rumah.Ibuku memakai kebaya dan ayahku memakai jas. Itu adalah foto 9 tahun yang lalu, saat ayahku belum terserang stroke. Dari foto itu, aku mengambil pose ayah dan ibuku terpisah kemudian kucetak di atas kertas foto 5R dan dipasang pada bingkai foto yang memang didalamnya ada tempat untuk 2 foto berdampingan.Tak pernah kubayangkan kalau foto ayahku itulah yang kemudian diperbesar dan diletakkan di dekat tubuhnya yang telah kaku. Rasanya menyakitkan sekali. Kupeluk foto itu, dan jariku mengusap wajahnya yang terlihat sedang tersenyum di foto itu. Kembali air mataku menetes tanpa isakan.
Kakiku kulangkahkan kembali, tanpa sadar aku menuju kamarku. kamarku berantakan, karena barang-barang di ruang tengah disimpan sementara di kamarku. Mataku melihat kumpulan CD film dan musik yang dikirim edo ataupun yang dibeli ayah sendiri. Tanpa sadar aku tersenyum melihat CD musik anak muda yang dikirim abangku untuk ayah. Dada ini terasa ada yang menekan. Lalu aku mengambil selembar koran yang ternyata berisi jadwal pertandingan piala dunia. Masih terlihat tulisan tangan ayahku mengisi kolom score pertandingan sampai pertandingan terakhir sebelum ia pergi. Saat itu aku benar-benar merasa tekanan di dadaku memuncak. Air mata kembali menetes tanpa suara.
Melihatnya terbujur kaku, masih membuatku tak percaya. Ia benar-benar seperti tidur, dan baru kusadari kalau ayahku tersenyum! Ia tersenyum, wajah tenang menghiasi wajahnya. Aku ga mampu memandang wajahnya, karena setiap memandang wajahnya aku merasa kalau ia hanya tidur tetapi tidak mau bangun lagi. Bagaimana merelakannya? beginikah rasanya kehilangan ayah? Aku bahkan belum sempat mentraktirnya untuk honor pertamaku, tapi ia sudah pergi. Mengapa secepat itu,pa? Perayaan wisudaku kupersembahkan untukmu, tapi papa tidak mau menghadirinya. Papa tidak akan ada di gedung Sabuga itu, melihat putri bungsu papa mengenakan kebaya dan toga. Pa..i really miss u, i really do..

No comments: