Monday, July 31, 2006

to : Mama

Selamat ulang tahun,mama
Jangan pernah merasa sendiri ya,ma
Ada Tuhan dan kami yang selalu mencintai mama.
Semoga Tuhan memberi mama umur panjang dan sehat selalu.
Jangan sakit lagi ya,ma.
Aku masih sangat membutuhkan mama dan ingin membahagiakan mama
Selamat ulang tahun.
I love you,mom.

Tuesday, July 18, 2006

Hari ini yang telah berlalu

Hari ini dua bulan yang lalu, dosen-dosen penguji sidang akhir menyatakan aku berhasil menyelesaikan masa kuliahku di kampus ganesha ini. Esok hari sebulan yang lalu, ayahku telah pergi kembali pada Tuhan. Satu bulan 3 hari setelah kepergian ayahku, aku akan memasuki gedung Sabuga sebagai wisudawan dengan didampingi ibuku dan abangku. Tanpa kehadiran seorang ayah.
Hari ini dua bulan yang lalu hingga hari ini, aku masih belum mampu memilih cabang jalan ini. Entahlah..

Friday, July 07, 2006

6 Agustus 2004

Tulisan lama yang tak pernah kukirimkan pada ayahku sampai semuanya sudah terlambat

Tiba-tiba kusadari betapa aku kembali takut kehilangan ayahku. Tuhan,bila aku boleh memohon kepadamu. Bila aku boleh meminta sesuatu kepadamu,maka dengarlah doaku.
Ya Allah,kumohonkan kepadamu
Berikan umur panjang kepada orangtuaku.
Berikan kesehatan kepada mereka.
Ya Allah,biarkan mereka menjalani masa-masa tua mereka bersama.
Berikan kebahagiaan di hati mereka.
Tuhan,jauhkan ayahku dari segala penyakit.
Berikan aku dan saudaraku waktu untuk memberikan kebahagiaan di hati mereka.
Khususnya aku Bapa,mampukan aku untuk membanggakan ayahku,membanggakan mama.
Aku ingin ayahku dan ibuku menghadiri upacara wisudaku.
Kuingin sekali lagi melihat sinar kebanggaan yang dulu sekali sering terpancar di matanya.
Aku sangat mencintai mereka.
Tolong sampaikan cintaku kepada mereka,ayah dan ibuku.
Amin

i love u,dad..


6 Agustus 2004

21 Juni 2006

Disini kami yang berduka
menahan tangis kehilangan ayah
mempertanyakan keputusanMu
seperti inikah yang terbaik?
Bila ini yang terbaik,
mengapa kami menangis?
mengapa dada ini terasa sesak?
mengapa hati ini tidak bisa merelakannya?

ayahku seperti tidur
benar-benar seperti tidur
kubangunkan, kupanggil dan kubelai rambut putihnya
ia tetap tak terbangun
benarkah ia telah pergi?
tapi mengapa aku merasa ia hanya tidur?

pagi berikutnya aku melihat peti mayat yang sangat indah
warnanya coklat, diplitur sangat halus
bagian dalamnya dilapisi kain berwarna emas
terlihat sangat indah dan nyaman
di samping peti diletakkan sebuah salib besar
di tengah salib digoreskan nama ayahku
Mulia Maringan Tua Silalahi
Lahir: 21 Maret 1945 Meninggal: 19 Juni 2006

Ketika tangan besar mereka membopong tubuh kaku ayahku
saat itu isakan tak tertahan keluar dari mulutku
tak mampu rasanya melihat ayahku
tak bisa lagi berjalan seperti biasa
walau dengan kaki yang kurang seimbang
mereka meletakkan ayahku di dalam peti yang indah itu
Kusenandungkan lagu "ayah"
Lagu lama yang sering kumainkan dengan harmonika
Ingatkah ayah yang dulu mengajarkanku harmonika?
lagu itu sering kumainkan,
tapi kali ini terasa berbeda

Pendeta masuk ruangan
aku tau sebentar lagi ayahku akan diberkati untuk terakhir kalinya
dengan perlahan kudekatkan wajahku pada wajah ayahku
kubisikkan pelan "pa,aku udah rela. Pergilah,pa. Adek sudah rela"
"papa tidak akan lagi merasa sakit,
pergilah,pa. Aku rela"

Kemudian peti itu ditutup
dari bagian kaca pada tutup peti itu,
aku masih bisa melihat wajahnya

aku melempar segenggam tanah
ke dalam lubang berukuran 2 x 1,5 meter itu
di dalamnya telah ada peti indah itu
"selamat jalan ya,Pa"
KAMI MENCINTAIMU
I LOVE U,DAD..

19 Juni 2006

telepon genggamku berbunyi, di layarnya terbaca: Edo. Dengan tawa ceria kuterima telepon itu, kupikir abangku ini ingin menanyakan kabarku atau menanyakan kapan aku pulang ke Jakarta. Tapi ternyata tidak, bukan suara ceria yang kudengar. Suara muram yang mengabarkan ayah kami masuk ICU. Sesaat aku merasa gak mampu untuk berbuat apapun, otakku buntu dan aku bingung harus melakukan apa. Secepatnya aku pulang ke Jakarta dan di rumah abangku sudah menunggu. Ia langsung mengajakku ke bandara begitu kakiku keluar dari taksi. Tapi aku ingin masuk dulu ke rumah, mau menanyakan kabar ayah ke kakakku. Di rumah kudapati mata kakakku sudah sangat sembab, dan dengan terbata-bata ia berkata kalau Tuhan sudah mengambil ayahku. Tahukah bagaimana rasanya mendengar kabar itu? terasa jantung ini diambil dari tempatnya, terasa sesak, otak gak mampu berpikir, dan rasanya aku masih mencoba memanipulasi otakku kalau ini semua hanya dalam pikiranku. Perjalanan terpanjang kujalani. Berkali-kali sudah aku menggunakan pesawat untuk pulang ke rumah di medan atau kembali lagi ke jakarta. Tapi kali ini, penerbangan 2 jam 15 menit itu terasa berhari-hari. Sangat lama sampai aku tidak percaya kalau detik di jamku ini bergerak.
Taksi kami tiba di depan gerbang rumah, rumah tempatku bernaung 6 tahun sebelum aku mendatangi kota bandung. Rumah itu kali ini terasa berbeda. Tenda dipasang di halaman, dan orang-orang langsung menyambut kami. Dengan perlahan kakiku memasuki ruang tamu. Abang dan kakakku sudah lebih duluan masuk. Tapi saat sudut mataku menangkap ujung kaki ayahku di atas tempat tidur, aku menjadi kaku. Aku gak mampu bergerak, dada ini terasa semakin sesak. Aku sempat mundur selangkah sebelum tanteku memelukku dan memapahku ke ruang tengah, ruang keluarga kami. Mama yang pertama mendatangiku, memelukku dan berkata: "gakpapa ya,dek. Gak ada papa yang akan nemenin wisudamu. Jangan sedih yah". Mampukah aku untuk menahan sedih bila ibuku berkata seperti itu? Perlahan sambil memegang tangan ayahku yang sudah sangat keras, kuucapkan dengan lirih "kenapa,pa? kenapa ga mau menunggu? tinggal sebulan lagi wisudaku, kenapa papa gak mau nunggu?"
Aku ga mampu meraung, aku ga mampu berteriak, aku bahkan tidak mampu terisak. Saat hati mulai terasa lelah, aku berdiri memandangi ruang keluarga kami. Di atas buffet tape tergantung foto kanvas 32R yang kucetak setahun lalu. Disana ayahku memakai jas abu-abu, mukanya terlihat semakin tua. Ruang keluarga ini sangat lenggang. Sebelumnya ruangan ini terisi dengan sofa-sofa empuk untuk menonton teve. Sekarang sofa itu disingkirkan entah kemana, hanya sebuah perabotan yang berada di tengah ruangan yaitu sebuah dipan tempat tidur tanpa kasur yang telah ditutupi seprai putih cantik. Di dipan itu ayahku tidur dengan jas abu-abu. Di dekat kepalanya diletakkan sebuah bingkai foto, foto ayahku memakai jas. Tahukah itu foto apa? itu adalah foto ayahku yang kupersembahkan untuk hadiah pernikahan orangtuaku yang ke 25. Dulu aku hanya menyimpan sebuah foto kecil dengan ayah ibuku berpose di depan rumah.Ibuku memakai kebaya dan ayahku memakai jas. Itu adalah foto 9 tahun yang lalu, saat ayahku belum terserang stroke. Dari foto itu, aku mengambil pose ayah dan ibuku terpisah kemudian kucetak di atas kertas foto 5R dan dipasang pada bingkai foto yang memang didalamnya ada tempat untuk 2 foto berdampingan.Tak pernah kubayangkan kalau foto ayahku itulah yang kemudian diperbesar dan diletakkan di dekat tubuhnya yang telah kaku. Rasanya menyakitkan sekali. Kupeluk foto itu, dan jariku mengusap wajahnya yang terlihat sedang tersenyum di foto itu. Kembali air mataku menetes tanpa isakan.
Kakiku kulangkahkan kembali, tanpa sadar aku menuju kamarku. kamarku berantakan, karena barang-barang di ruang tengah disimpan sementara di kamarku. Mataku melihat kumpulan CD film dan musik yang dikirim edo ataupun yang dibeli ayah sendiri. Tanpa sadar aku tersenyum melihat CD musik anak muda yang dikirim abangku untuk ayah. Dada ini terasa ada yang menekan. Lalu aku mengambil selembar koran yang ternyata berisi jadwal pertandingan piala dunia. Masih terlihat tulisan tangan ayahku mengisi kolom score pertandingan sampai pertandingan terakhir sebelum ia pergi. Saat itu aku benar-benar merasa tekanan di dadaku memuncak. Air mata kembali menetes tanpa suara.
Melihatnya terbujur kaku, masih membuatku tak percaya. Ia benar-benar seperti tidur, dan baru kusadari kalau ayahku tersenyum! Ia tersenyum, wajah tenang menghiasi wajahnya. Aku ga mampu memandang wajahnya, karena setiap memandang wajahnya aku merasa kalau ia hanya tidur tetapi tidak mau bangun lagi. Bagaimana merelakannya? beginikah rasanya kehilangan ayah? Aku bahkan belum sempat mentraktirnya untuk honor pertamaku, tapi ia sudah pergi. Mengapa secepat itu,pa? Perayaan wisudaku kupersembahkan untukmu, tapi papa tidak mau menghadirinya. Papa tidak akan ada di gedung Sabuga itu, melihat putri bungsu papa mengenakan kebaya dan toga. Pa..i really miss u, i really do..